Diplomasi Luar Negeri ala Gus Dur
Oleh Ben Perkasa Drajat
Salah satu perilaku politik Presiden Abdurrahman Wahid yang unik
adalah diplomasi luar negerinya yang sangat intensif. Dalam tempo tiga
bulan, hampir semua mitra ekonomi Indonesia di empat benua telah
dikunjunginya. Bisa jadi mungkin tidak pernah ada di dunia ini, kepala
pemerintahan freshman yang mengadakan muhibah mancanegara demikian
sering dan lama.
Harus diakui bahwa kunjungan Presiden Gus Dur telah membawa manfaat
upaya pemulihan ekonomi dan menstimulus aliran investasi. Namun,
tetaplah ada anggapan bahwa Presiden terlalu banyak menguras energi
pada aspek hubungan internasional di tengah krisis politik domestik
yang krusial seperti Aceh, Ambon, Papua dan hubungan baru sipil-TNI.
Lebih "akademik", muncul penilaian bahwa muhibah luar negeri Gus Dur
sebagai sikap "mengobral politik luar negeri" (foreign policy on
sale). Argumen ini bersandar pada premis bahwa hubungan luar negeri
terentang dalam skala kerja sama protokoler berjenjang. Ia, karenanya,
wajib dilakoni selaras dengan level intensitas hubungan internasional
dalam batasan konvensi (adat-istiadat) diplomatik. Dikhawatirkan
lawatan diplomasi Presiden RI ke banyak negara, sesingkat ini, akan
membuat ketidakfokusan prioritas politik luar negeri.
Demokratisasi dan diplomasi
Analisis tentang praktik diplomasi ala Gus Dur tidak dapat dilepaskan
dari kerangka keterkaitannya pada fenomena politik dalam negeri yang
kini berada pada awal tahapan demokratisasi. Prosesi formulasi politik
luar negeri dan aplikasi diplomasinya tidak berlangsung dalam vakum.
Ia merefleksi proses transformasi pembaharuan menuju masyarakat
madani.
Dalam hubungan ini, John Kurt Jacobsen (1995) secara ekstrem mengagas
bahwa "semua jenis politik adalah domestik" (all politics are
domestic). Pemahaman atas kiprah diplomasi Gus Dur karenanya harus
dilihat dalam konteks rancang-bangun politik baru guna mengkonstruksi
rezim demokrasi. Level akseptabilitas internasional berfondasi pada
legitimasi domestik; dengan tumpuan utamanya demokratisasi. Semakin
terlegitimasi rezim politik domestik maka kian cair (liquid) akses
capaian jenjang confident internasionalnya.
Satu terobosan orisinil Gus Dur pada acuan teori ini ialah beliau
mengkonsolidasi legitimasi politik domestiknya dari jauh (remote
consolidation). Dilakukan secara spesifik dengan lontaran polemik
kontroversial atas isu domestik. Seperti isu tiga menteri KKN dari
Washington dan mundurnya Wiranto dari Eropa. Hemat penulis ialah,
manuver ini adalah bagian dari upayanya mengukur dukungan
internasional terhadap pemerintahannya. Serta mungkin pula terhadap
popularitas pribadinya. Respons-baliknya terbukti cukup baik. Gus Dur
sejauh ini memperoleh dukungan politik internasional atas legitimasi
kepemimpinannya. Masalahnya sampai batas mana elok permainan canggih
demikian ini mentoleransi koridor potensi intervensi asing yang justru
jadi kian lugas dan intensif dipicu manuver Gus Dur?
Di sudut lain harus diakui, sebagai pemimpin pemerintahan demokratis
RI pertama dalam sejarah, memang tak ada figur yang paling pantas
memperkenalkan rezim Indonesia-Baru selain dia. Paralel dengan kondisi
ini, Gus Dur nampaknya tengah mengumpulkan masukan bagi rumusan
politik luar negeri melalui penyerapan aspirasi dan ekspektasi
internasional.
Berbanding rezim RI sebelum ini, proses perumusan politik luar negeri
Gus Dur berpola "arus-balik". Pola ketiga presiden kita terdahulu
ialah membentuk dulu basis kebijakan luar negeri. Lalu kemudian baru
diwujudkan aksi diplomasinya. Soekarno mengibarkan bendera
anti-nekolim yang konfrontatif. Soeharto menancapkan strategi
regionalisme baru ASEAN dan integrasi Timtim yang kemudian jadi
masalah laten. Habibie menggagas proyek solusi Timtim (1999) yang
idealismenya baik tetapi output-nya beralih jadi kontra-produktif.
Adapun pola Presiden Gus Dur terbalik. Ia menjaring dulu opini dunia
atas konsep kebijakan melalui diplomasi. Setelah itu baru dirumuskan
platform politik luar negerinya. Legitimasi, kapabilitas dan talenta
personal berdiplomasinya menyokong langgam baru ini.
Terobosan bilateralisme
Orisinalitas gaya permainan hubungan luar negeri Gus Dur dengan
mendahulukan diplomasi-bilateral di atas politik-kebijakan berbuah
output khas pula. Pertama: menekan risiko kegagalan dari distorsi
implementasi yang melenceng. Sehingga kasus miris seperti sudahlah
kehilangan Timtim citra bangsa tercoreng kelam, tidak terjadi. Juga,
tak bakal ada kiprah diplomasi yang proses garapannya kurang matang
semisal perjuangan mobil nasional di Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) yang berakhir dengan kekalahan tragis. Kedua: terhindarnya
penciptaan "musuh Indonesia" pada asumsi awal. Semua pihak, termasuk
mereka yang secara tradisional wajib dijauhi seperti Israel,
diasumsikan dahulu sebagai "kawan". Ketiga: manuver praktis jadi lebih
lugas karena format negosiasi bilateral berlandas prinsip one- by-one
lebih tepat-guna.
Mengapa negosiasi bilateral, terlebih ala nyeleneh Gus Dur, bisa
efektif? Prosedur multilateral kerap kali membiaskan substansi topik
perundingan. Teknikalitas multilateral, baik global atau regional,
ternyata banyak menyudutkan posisi tawar-menawar (bargaining position)
RI. Lebih parah lagi, multilateralisme di era Orba menjadi alat
distorsi politik. Misalnya forum Consultative Group on Indonesia (CGI)
di mana menjadi wahana pembenaran penumpukan utang luar negeri.
CGI di era Orde Baru ialah sarang propaganda bahwa Indonesia mendapat
"kepercayaan internasional" guna menjustifikasi membengkaknya utang
tiap tahunnya. Syukur sikap ini sedang dikoreksi. Negosiasi utang
dengan donor lebih baik dilakukan via bilateral di mana posisi
tawar-menawar RI menjadi meningkat seiring menciutnya kuantitas
mitra-runding. Sejalan dengan paradigma baru kebijakan utang luar
negeri kini, CGI sebaiknya dibubarkan saja.
Faktor global dan regional
Di luar ekspose diplomasi bilateral Gus Dur, reposisi kebijakan luar
negeri menuntut kajian menyeluruh atas situasi lingkungan kita yang
berpengaruh terhadap opsi strategis. Sikap baru hubungan luar negeri
RI kini gelagatnya bakal diimplementasikan dengan upaya pembentukan
aliansi baru Indonesia-RRC-India. Hakikatnya ini antitesis dari
kekecewaan terhadap sikap "poros-Barat" yang kurang mendukung
pengentasan krisis nasional kita. Malah menekan dengan HAM, politik
pasar bebas, lingkungan dan lain-lain. Proyek penyeimbangan ini
positif saja. Namun masalahnya sebagai pemrakarsa (sponsor) realiansi
"poros-tengah Asia" ini, posisi politik, potensi militer serta kondisi
ekonomi RI adalah yang paling lemah. Demikian pula dengan hal lain
seperti besaran penduduk, GDP dan akses teknologi tinggi.
Ditakutkan jika aliansi baru ini terbentuk-berwujud struktural formal
atau hanya wacana dialog tak ada bedanya-maka justru kita yang akan
menjadi objek dari ekspansi perluasan pengaruh dua negara raksasa Asia
yang sehat ini. Belum lagi, AS selalu alergi dengan usaha pembentukan
struktur baru regionalisme Asia tanpa partisipasinya. Contoh kasus:
kegagalan pembentukan Kaukus Ekonomi Asia Timur (EAEC) dari PM
Mahathir.
Dalam konteks imbangan "poros-Barat", satu hal yang perlu mendapat
perhatian Gus Dur ialah berkembangnya opini publik yang liar tentang
"konspirasi internasional". Sejauh ia dibentuk untuk membangkitkan
harga diri bangsa dan nasionalisme proporsional, tidak jadi masalah.
Namun kini kecenderungannya ekspresi opininya sudah di luar konteks
dan kian mencerminkan sikap frustrasi. Menyalahkan orang lain tanpa
mau introspeksi diri.
Introspeksi atas dosa kita bisa ditelaah melalui ide Toshio Watanabe
(1994) sebagai kegagalan soft landing dari otoriterianisme.
Pembangunan ekonomi, keterbukaan pasar bebas dan deregulasi seharusnya
menjadi pemicu proses pembaharuan sosial. Yang terjadi di Indonesia
pada awal 1990-an adalah sebaliknya. Energi ekonomi dimanfaatkan untuk
menumbuhkembangkan praktik korup, KKN dan distorsi ekonomi liberal.
Lebih fatal lagi, dilakukannya represi terhadap iklim demokrasi yang
harusnya menopang mekanisme pasar bebas agar optimal. Yang terjadi
crash, bukan soft landing. Pihak "luar" dan Barat memang di pelbagai
aspek turut menyumbang keterpurukan nasional baik politik, ekonomi,
sosbud. Namun kontributor terbesar adalah kita sendiri. Distorsi rezim
Orde Baru adalah akar dan sumber krisis. Ketololan elite Orba-bukan
konspirasi Barat-yang menghancurkan bangsa.
Usulan implementasi
Manuver diplomasi luar negeri Gus Dur sepatutnya memperoleh
tindak-lanjut di level implementasi, khususnya dari jajaran birokrasi
melalui program dan agenda nyata. Di spektrum nilai, kultur feodalisme
dan patrimonialisme yang mengungkung kinerja para profesional
diplomasi patut dikikis habis. Terlebih ambisinya adalah "menjual
Indonesia-Baru" dan merayu pengusaha asing berinvestasi di negeri
demokrasi terbesar ke-3 di dunia.
Sejalan dengan strategi pembemberdayaan masyarakat, perlu dikembangkan
upaya lebih terpadu guna tercipta iklim agar unsur non-pemerintahan
dapat lebih berkiprah dan punya akses terhadap promosi investasi dan
perdagangan di luar negeri. Aparat pemerintah-baik di dalam maupun di
luar negeri-dialihfungsikan sebatas fasilitator dan pelayan.
Perlu reposisi jati-diri peran perwakilan RI di luar negeri. Dari
kepanjangan tangan birokrasi pemerintahan pusat ala Orba menjadi unit
mandiri yang berorientasi pada layanan publik, baik pada WN asing
maupun WNI. Suatu center of services terpadu yang melayani prosedur
investasi, perdagangan, pariwisata, pendidikan, imigrasi dalam pola
administratif satu atap sebaiknya dipertimbangkan untuk diwujudkan di
tiap perwakilan RI di luar negeri.
Di pusat, revitalisasi atas mekanisme baru diperlukan justru karena
munculnya alam kepemerintahan demokratis. Pada situasi-mana terjadi
pemilahan struktur kekuasaan politik dan birokrasi. Visi
politisi-terwakili dalam ujud representasi figur Presiden dan Menteri
Luar Negeri-belum tentu seratus persen akuntabel. Visi politik harus
diimbangi oleh rasionalitas usulan kebijakan dari birokrasi. Keduanya
seharusnya independen dan saling check and balance.
Pada rezim demokrasi yang telah mapan seperti AS, Jepang, Australia
dan Eropa, adalah hal lazim Kementerian Luar Negeri (Kemlu)
mengeluarkan "buku-putih" proposal hubungan luar negeri sebagai suatu
kertas usulan kebijakan institusi (Kemlu/ Deplu). Bukan atas nama
Menlu atau Presiden/Perdana Menteri yang punya garis aspirasi politik
sendiri.
(* Ben Perkasa Drajat, Kandidat PhD (International Political Economy)
di Universitas Hiroshima, Jepang.)
Oleh Ben Perkasa Drajat
Salah satu perilaku politik Presiden Abdurrahman Wahid yang unik
adalah diplomasi luar negerinya yang sangat intensif. Dalam tempo tiga
bulan, hampir semua mitra ekonomi Indonesia di empat benua telah
dikunjunginya. Bisa jadi mungkin tidak pernah ada di dunia ini, kepala
pemerintahan freshman yang mengadakan muhibah mancanegara demikian
sering dan lama.
Harus diakui bahwa kunjungan Presiden Gus Dur telah membawa manfaat
upaya pemulihan ekonomi dan menstimulus aliran investasi. Namun,
tetaplah ada anggapan bahwa Presiden terlalu banyak menguras energi
pada aspek hubungan internasional di tengah krisis politik domestik
yang krusial seperti Aceh, Ambon, Papua dan hubungan baru sipil-TNI.
Lebih "akademik", muncul penilaian bahwa muhibah luar negeri Gus Dur
sebagai sikap "mengobral politik luar negeri" (foreign policy on
sale). Argumen ini bersandar pada premis bahwa hubungan luar negeri
terentang dalam skala kerja sama protokoler berjenjang. Ia, karenanya,
wajib dilakoni selaras dengan level intensitas hubungan internasional
dalam batasan konvensi (adat-istiadat) diplomatik. Dikhawatirkan
lawatan diplomasi Presiden RI ke banyak negara, sesingkat ini, akan
membuat ketidakfokusan prioritas politik luar negeri.
Demokratisasi dan diplomasi
Analisis tentang praktik diplomasi ala Gus Dur tidak dapat dilepaskan
dari kerangka keterkaitannya pada fenomena politik dalam negeri yang
kini berada pada awal tahapan demokratisasi. Prosesi formulasi politik
luar negeri dan aplikasi diplomasinya tidak berlangsung dalam vakum.
Ia merefleksi proses transformasi pembaharuan menuju masyarakat
madani.
Dalam hubungan ini, John Kurt Jacobsen (1995) secara ekstrem mengagas
bahwa "semua jenis politik adalah domestik" (all politics are
domestic). Pemahaman atas kiprah diplomasi Gus Dur karenanya harus
dilihat dalam konteks rancang-bangun politik baru guna mengkonstruksi
rezim demokrasi. Level akseptabilitas internasional berfondasi pada
legitimasi domestik; dengan tumpuan utamanya demokratisasi. Semakin
terlegitimasi rezim politik domestik maka kian cair (liquid) akses
capaian jenjang confident internasionalnya.
Satu terobosan orisinil Gus Dur pada acuan teori ini ialah beliau
mengkonsolidasi legitimasi politik domestiknya dari jauh (remote
consolidation). Dilakukan secara spesifik dengan lontaran polemik
kontroversial atas isu domestik. Seperti isu tiga menteri KKN dari
Washington dan mundurnya Wiranto dari Eropa. Hemat penulis ialah,
manuver ini adalah bagian dari upayanya mengukur dukungan
internasional terhadap pemerintahannya. Serta mungkin pula terhadap
popularitas pribadinya. Respons-baliknya terbukti cukup baik. Gus Dur
sejauh ini memperoleh dukungan politik internasional atas legitimasi
kepemimpinannya. Masalahnya sampai batas mana elok permainan canggih
demikian ini mentoleransi koridor potensi intervensi asing yang justru
jadi kian lugas dan intensif dipicu manuver Gus Dur?
Di sudut lain harus diakui, sebagai pemimpin pemerintahan demokratis
RI pertama dalam sejarah, memang tak ada figur yang paling pantas
memperkenalkan rezim Indonesia-Baru selain dia. Paralel dengan kondisi
ini, Gus Dur nampaknya tengah mengumpulkan masukan bagi rumusan
politik luar negeri melalui penyerapan aspirasi dan ekspektasi
internasional.
Berbanding rezim RI sebelum ini, proses perumusan politik luar negeri
Gus Dur berpola "arus-balik". Pola ketiga presiden kita terdahulu
ialah membentuk dulu basis kebijakan luar negeri. Lalu kemudian baru
diwujudkan aksi diplomasinya. Soekarno mengibarkan bendera
anti-nekolim yang konfrontatif. Soeharto menancapkan strategi
regionalisme baru ASEAN dan integrasi Timtim yang kemudian jadi
masalah laten. Habibie menggagas proyek solusi Timtim (1999) yang
idealismenya baik tetapi output-nya beralih jadi kontra-produktif.
Adapun pola Presiden Gus Dur terbalik. Ia menjaring dulu opini dunia
atas konsep kebijakan melalui diplomasi. Setelah itu baru dirumuskan
platform politik luar negerinya. Legitimasi, kapabilitas dan talenta
personal berdiplomasinya menyokong langgam baru ini.
Terobosan bilateralisme
Orisinalitas gaya permainan hubungan luar negeri Gus Dur dengan
mendahulukan diplomasi-bilateral di atas politik-kebijakan berbuah
output khas pula. Pertama: menekan risiko kegagalan dari distorsi
implementasi yang melenceng. Sehingga kasus miris seperti sudahlah
kehilangan Timtim citra bangsa tercoreng kelam, tidak terjadi. Juga,
tak bakal ada kiprah diplomasi yang proses garapannya kurang matang
semisal perjuangan mobil nasional di Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) yang berakhir dengan kekalahan tragis. Kedua: terhindarnya
penciptaan "musuh Indonesia" pada asumsi awal. Semua pihak, termasuk
mereka yang secara tradisional wajib dijauhi seperti Israel,
diasumsikan dahulu sebagai "kawan". Ketiga: manuver praktis jadi lebih
lugas karena format negosiasi bilateral berlandas prinsip one- by-one
lebih tepat-guna.
Mengapa negosiasi bilateral, terlebih ala nyeleneh Gus Dur, bisa
efektif? Prosedur multilateral kerap kali membiaskan substansi topik
perundingan. Teknikalitas multilateral, baik global atau regional,
ternyata banyak menyudutkan posisi tawar-menawar (bargaining position)
RI. Lebih parah lagi, multilateralisme di era Orba menjadi alat
distorsi politik. Misalnya forum Consultative Group on Indonesia (CGI)
di mana menjadi wahana pembenaran penumpukan utang luar negeri.
CGI di era Orde Baru ialah sarang propaganda bahwa Indonesia mendapat
"kepercayaan internasional" guna menjustifikasi membengkaknya utang
tiap tahunnya. Syukur sikap ini sedang dikoreksi. Negosiasi utang
dengan donor lebih baik dilakukan via bilateral di mana posisi
tawar-menawar RI menjadi meningkat seiring menciutnya kuantitas
mitra-runding. Sejalan dengan paradigma baru kebijakan utang luar
negeri kini, CGI sebaiknya dibubarkan saja.
Faktor global dan regional
Di luar ekspose diplomasi bilateral Gus Dur, reposisi kebijakan luar
negeri menuntut kajian menyeluruh atas situasi lingkungan kita yang
berpengaruh terhadap opsi strategis. Sikap baru hubungan luar negeri
RI kini gelagatnya bakal diimplementasikan dengan upaya pembentukan
aliansi baru Indonesia-RRC-India. Hakikatnya ini antitesis dari
kekecewaan terhadap sikap "poros-Barat" yang kurang mendukung
pengentasan krisis nasional kita. Malah menekan dengan HAM, politik
pasar bebas, lingkungan dan lain-lain. Proyek penyeimbangan ini
positif saja. Namun masalahnya sebagai pemrakarsa (sponsor) realiansi
"poros-tengah Asia" ini, posisi politik, potensi militer serta kondisi
ekonomi RI adalah yang paling lemah. Demikian pula dengan hal lain
seperti besaran penduduk, GDP dan akses teknologi tinggi.
Ditakutkan jika aliansi baru ini terbentuk-berwujud struktural formal
atau hanya wacana dialog tak ada bedanya-maka justru kita yang akan
menjadi objek dari ekspansi perluasan pengaruh dua negara raksasa Asia
yang sehat ini. Belum lagi, AS selalu alergi dengan usaha pembentukan
struktur baru regionalisme Asia tanpa partisipasinya. Contoh kasus:
kegagalan pembentukan Kaukus Ekonomi Asia Timur (EAEC) dari PM
Mahathir.
Dalam konteks imbangan "poros-Barat", satu hal yang perlu mendapat
perhatian Gus Dur ialah berkembangnya opini publik yang liar tentang
"konspirasi internasional". Sejauh ia dibentuk untuk membangkitkan
harga diri bangsa dan nasionalisme proporsional, tidak jadi masalah.
Namun kini kecenderungannya ekspresi opininya sudah di luar konteks
dan kian mencerminkan sikap frustrasi. Menyalahkan orang lain tanpa
mau introspeksi diri.
Introspeksi atas dosa kita bisa ditelaah melalui ide Toshio Watanabe
(1994) sebagai kegagalan soft landing dari otoriterianisme.
Pembangunan ekonomi, keterbukaan pasar bebas dan deregulasi seharusnya
menjadi pemicu proses pembaharuan sosial. Yang terjadi di Indonesia
pada awal 1990-an adalah sebaliknya. Energi ekonomi dimanfaatkan untuk
menumbuhkembangkan praktik korup, KKN dan distorsi ekonomi liberal.
Lebih fatal lagi, dilakukannya represi terhadap iklim demokrasi yang
harusnya menopang mekanisme pasar bebas agar optimal. Yang terjadi
crash, bukan soft landing. Pihak "luar" dan Barat memang di pelbagai
aspek turut menyumbang keterpurukan nasional baik politik, ekonomi,
sosbud. Namun kontributor terbesar adalah kita sendiri. Distorsi rezim
Orde Baru adalah akar dan sumber krisis. Ketololan elite Orba-bukan
konspirasi Barat-yang menghancurkan bangsa.
Usulan implementasi
Manuver diplomasi luar negeri Gus Dur sepatutnya memperoleh
tindak-lanjut di level implementasi, khususnya dari jajaran birokrasi
melalui program dan agenda nyata. Di spektrum nilai, kultur feodalisme
dan patrimonialisme yang mengungkung kinerja para profesional
diplomasi patut dikikis habis. Terlebih ambisinya adalah "menjual
Indonesia-Baru" dan merayu pengusaha asing berinvestasi di negeri
demokrasi terbesar ke-3 di dunia.
Sejalan dengan strategi pembemberdayaan masyarakat, perlu dikembangkan
upaya lebih terpadu guna tercipta iklim agar unsur non-pemerintahan
dapat lebih berkiprah dan punya akses terhadap promosi investasi dan
perdagangan di luar negeri. Aparat pemerintah-baik di dalam maupun di
luar negeri-dialihfungsikan sebatas fasilitator dan pelayan.
Perlu reposisi jati-diri peran perwakilan RI di luar negeri. Dari
kepanjangan tangan birokrasi pemerintahan pusat ala Orba menjadi unit
mandiri yang berorientasi pada layanan publik, baik pada WN asing
maupun WNI. Suatu center of services terpadu yang melayani prosedur
investasi, perdagangan, pariwisata, pendidikan, imigrasi dalam pola
administratif satu atap sebaiknya dipertimbangkan untuk diwujudkan di
tiap perwakilan RI di luar negeri.
Di pusat, revitalisasi atas mekanisme baru diperlukan justru karena
munculnya alam kepemerintahan demokratis. Pada situasi-mana terjadi
pemilahan struktur kekuasaan politik dan birokrasi. Visi
politisi-terwakili dalam ujud representasi figur Presiden dan Menteri
Luar Negeri-belum tentu seratus persen akuntabel. Visi politik harus
diimbangi oleh rasionalitas usulan kebijakan dari birokrasi. Keduanya
seharusnya independen dan saling check and balance.
Pada rezim demokrasi yang telah mapan seperti AS, Jepang, Australia
dan Eropa, adalah hal lazim Kementerian Luar Negeri (Kemlu)
mengeluarkan "buku-putih" proposal hubungan luar negeri sebagai suatu
kertas usulan kebijakan institusi (Kemlu/ Deplu). Bukan atas nama
Menlu atau Presiden/Perdana Menteri yang punya garis aspirasi politik
sendiri.
(* Ben Perkasa Drajat, Kandidat PhD (International Political Economy)
di Universitas Hiroshima, Jepang.)
SILAHKAN PROTES...