Adnan Buyung Nasution “Tampar” SBY-Demokrat


Adnan Buyung Nasution “Tampar” SBY-Demokrat

2009 NOVEMBER 4
by nusantaraku

Cukup tercenggang ketika saya membaca berita di kompas hari ini bahwa Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa  partai politik yang kerap melontarkan slogan (kampanye)  “bersih” atau “antikorupsi” dinilai telah gagal berperan dalam gerakan antikorupsi. Adnan B Nasution saat ini justru memberi apresiasi yang tinggi pada sejumlah LSM yang tanpa lelah berjuang gerakan antikorupsi serta turut serta pengawasan kepada pemerintahan. Begitu juga media pers (masyarakat tentunya).
“Ini momentum yang paling tepat untuk reformasi antikorupsi. Ini kita gerakkan kembali. Saya berbahagia dan bangga berperan LSM dan pers.Partai-partai kita itu enggak bekerjakalian (LSM) yang bekerja.Parpol secara institusional gagal berperan sehingga digantikan civil society,
ungkap Adnan Buyung Nasition dalam pertemuan dengan pegiat hukum dan antikorupsi pada 4 Nov 2009.
Diawal saya katakan cukup tercenggang karena pernyataan ini dilontarkan oleh Adnan Buyung Nasition (ABN), seorang lawyer yang sangat disegani oleh para advokat Indonesia, tidak terkecuali Presiden SBY. Saking hormatnya pada ABN, Presiden SBY mengangkat ABN sebagaiDewan Penasehat Presiden (Wantimpres) dibidang hukum pada periode 2004-2009 dan masih berlanjut hingga saat ini.

Tanpa Pernyataan Adnan Buyung pun, SBY ‘Akan’ Malu dengan Janji 2004-2009

Selama kampanye legislatif maupun presiden 2009, Demokrat dan SBY menggunakan isu pemberantasan korupsi sebagai alat untuk menarik simpati masyarakat. Partai Demokrat dan SBY seolah-olah bersih tanpa noda dari kasus korupsi. Itulah sihir iklan yang ditampilkan di seluruh TV nasional, seluruh media cetak dan radio nasional dan berbagai majalah hingga beberapa radio/TV/koran lokal.
Melalui iklan dan pencitraan inilah (disamping iklan-iklan dan pencitraan lainnya), Partai Demokrat memperoleh 20% suara nasional pada pileg dan SBY-Boediono memperoleh 73 juta (41%) dari total 175 juta suara nasional atau 60% dari total suara sah (dikurangi 55 juta golput). Partai Demokrat mengklaim keberhasilan KPK sebagai kinerja pemerintah SBY dan berusaha menggeneralisasi seluruh instansi penegak hukum sudah seperti KPK. Padahal selama 10 tahun reformasi bergulir atau 5 tahun pemerintahan SBY, lembaga naungan Kepresidenan yakni Polri dan Jaksa masih merupakan lembaga publik terkorup sekaligus pelanggaran HAM. Begitulah survei yang dilakukan oleh  Transparency International Indonesia dan Lembaga Amnesti Internasional.
  1. Kejaksaan RI Merupakan Lembaga Terkorup Nomor 2 (Sumber :Barometer Korupsi Global 2009 oleh TII). Catatan pada tahun 2009, kepolisian tidak ‘terecord’.
  2. Kepolisian RI Merupakan Lembaga Terkorup Nomor 1 Indonesia (Sumber :  Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2008 oleh TII).
  3. Selain lembaga TII, pada tahun 2009 Lembaga Amnesti Internasional merilis dokumen setebal 89 halaman berjudul “Urusan Yang Tak Selesai: Pertanggungjawaban Kepolisian di Indonesia” dengan inti laporan adalah kepolisian Indonesia melakukan penyiksaan, pemerasan, dan kekerasan seksual terhadap tersangka yang mana perilaku ini sebagai budaya melanggar hukum.[sumber]
Jika kita jujur melihat tiga laporan ini, maka kita tidak perlu terkejut jika lembaga-lembaga yang mengurusi masalah hukum justru sedang mengalami masalah hukum sendiri. Lembaga yang menjadi penegak hukum, justru terlibat dalam korupsi dan kekerasan/pelanggaran HAM. Kecepatan perubahan reformasi institusi jauh dari harapan reformasi itu sendiri.  Realitas yang dialami oleh lembaga kejaksaan dan kepolisian jauh dari janji-janji SBY pada tahun 2004-2009 di bidang hukum yang dituangkan dalam PP 7 Tahun 2005 tentang RPJM.
Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum, sasaran yang akan dilakukan dalam  tahun 2004-2009 adalah terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk tidak diskriminatif terhadap perempuan atau bias gender); terjaminnya konsistensi  seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi; dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan. 
Sumber : Sasaran Sistem dan Politik Hukum, PP 7 Tahun 2005 Tentang RPJM
Tanpa pernyataan Adnan Buyung Nasution pun, sebenarnya SBY secara pribadi sudah cukup malu dengan janji-janji



kampanye pada tahun 2004 silam. Dengan begitu meyakinkan, SBY berjanji memulihkan kepercayaan hukum masyarakat pada lembaga Kepolisian dan Kejaksaan yang dinaunginnya. Namun fakta berbicara lain. Lihat saja laporan TII dan Amnesti Internasional di atas. Tidak ada peningkatan luar biasa pada Jaksa dan Kepolisian. Justru yang benar-benar mendapat kepercayaan justru lembaga independen seperti KPK yang memberantas korupsi atau lembaga negara seperti MK atau BPK.
Namun, sayangnya masyarakat sering lupa dengan janji yang pernah diucapakan oleh para politikus. Kondisi ini menjadikan kesempatan para politikus dengan enteng untuk dapat melupakan janjinya kepada masyarakat, apabila realisasinya ’sulit’ (sulit dalam artian sesungguhnya, maupun sulit karena kepentingan). Itulah yang terjadi. Berbicara data ekonomi, masyarakat juga lupa dengan janji pemerintahan sebelumnya. (Lihat : Fakta-Fakta Tersembunyi Pemerintah SBY-JK (Ekonomi-1)—-Fakta-Fakta Tersembunyi Pemerintah SBY-JK (Ekonomi-2))
Berbekal dengan pengalaman 2004, mestinya SBY tidak banyak mengumbar janji. Mestinya SBY menyadari bahwa suatu perubahan tidak mudah dilakukan dengan cepat. Tanpa integritas pemimpin yang jujur, maka target janji-janji yang diutarakan akan semakin jauh realitas. Meskipun perubahan itu terjadi, namun perubahan hanya lebih pada miliki yang ‘berpunya‘. Karena sesungguhnya, untuk melakukan perbaikan bagi bangsa ini, haruslah dimulai dari komitmen sang pemimpin. Dari komitmen sang pemimpin yang berintegritas, rakyat akan senang meneladaninya dan mendukung perbaikan tersebut. Tentu, rakyat menjadi setengah hati mendukung apabila masih ‘kebohongan’ dan ‘diskriminatif’ yang ditutup dengan “buaian kata  indah”.
Jika Anda cermatin, ada 2 PR besar SBY dalam penegakan hukum. Pertama reformasi birokrasi Jaksa dan Kepolisian. Kedua, keadilan dan diskriminatif. Dari data-data yang saya terima, SBY tidak cukup adil terhadap dirinyal, SBY tidak tegas terhadap penyidik dan pihak berwenang untuk menindaklanjuti proses hukum yang berhubungan dengan dirinya. Apa saja itu?
  1. Pada Pilpres 2004, 5 capres-cawapres yang berkompetisi menerima dana non-budgeter Departemen Keluatan dan Perikanan. Tindakan ini merupakan bentuk pidana korupsi. Namun, kasus ini di SP3 setelah pertemuan SBY dan Amien Rais. Baca : Inilah Daftar Capres-Cawapres 2009 Penerima Dana Korupsi DKP atau SBY-JK Bersih dari Korupsi?
  2. Berdasarkan data kronologi dan pendapat sebagian besar pakar driling dan geologi, penyebab lumpur Lapindo lebih disebabkan oleh human error. Berdasarkan UU Amdal, maka pihak Lapindo Brantaslah yang bertanggungjawab terhadap dana alokasi penanggulangan Lumpur Lapindo. Atas kebaikan jajaran pemerintah, dikeluarkanlah Peraturan Presiden 14 Tahun 2007 yang mana dana rakyat melalui APBN menanggung setidaknya Rp 600 miliar. Baca: Jusuf Kalla dan 3 Tahun Lumpur Lapindo
  3. Pilkada Jawa Timur pada tahun 2008 sarat dengan pidana dengan ditemukan DPT fiktif serta anak-anak dibawah umur yang dibayar untuk mencoblos si XXX. Kapolda turun tangan, namun terkendala oleh penguasa. Baca : Perjuangan Irjen Herman SS yang Terhenti
  4. Kapolda Riau Irjen Sutjiptadi selama menjabat begitu semangat memberantas pembalakan liar. Pembalakan liar di Riau terjadi begitu masif sehingga diduga melibatkan petingi daerah (Gubernur Riau Ruzli Zainal) hingga pusat (Menhut MS Kaban). Namun, karena kuasa pusat, perjuangan Irjen Sutjiptadi kandas. Namun, ssaya cukup bersyukur karena pada awal 2009, kasus ini diambil KPK. Dan beberapa pejabat telah sudah dijadikan tersangka bahkan divonis. Baca : Sutjiptadi, Polisi Pemberani “Sang Visioner” atau Rusli Zainal, Tersangka Koruptor Kok Pahlawan Oleh Blogger?
  5. SBY mengangkat 4 orang menteri yang menjabat pemilik Yayasan Kesetiakawanan dan  Kepedulian (YKDK). Padahal YKDK menerima dana Rp 10 miliar dari tersangka koruptor Joko Tjandra yang lari ke Singapura. Bagaimana mungkin, dana Rp 10 miliar diberikan Joko Tjandra secara cuma-cuma? Tidak ada usaha SBY meminta Polri menyelidiki, justru Polri berusaha menjebloskan Bibit dan Chandra ke penjara. Ada apa? Baca : Fakta-Fakta Kemunafikan Polri dalam Mengasuskan Bibit dan Chandra

Pernyataan Adnan Buyung Nasution, Tamparan Keras Bagi SBY, Demokrat dan Partai Mengklaim “Bersih”

Ini adalah momentum yang tepat untuk reformasi antikorupsi. Sebuah kata yang sangat tajam maknanya, bagi mereka yang memiliki ‘kuping tipis’, terlebih yang menyampaikan adalah Adnan Buyung Nasition,  seorang tokoh dalam bidang hukum yang disegani kawan maupun lawan. Beliau adalah Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Bagi para aktivis reformasi 1998, pasti mengenal sosok “kakek renta”  75 tahun ini. Adnan Buyung (Bahrum) Nasition dalah salah seorang advokat kawakan sekaligus aktivis senior di Indonesia. Beliau adalah pencetus sekaligus pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada 1969 dan kini  berkembang menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Suatu lembaga yang menjadi pengayom dan pemberi bantuan hukum bagi orang miskin, kaum buruh, mahasiswa serta lembaga yang menjadi pendamping pergerakan berbagai kekuatan demokrasi.


Sebagai seorang advokat, aktivis sekaligus Dewan Pertimbangan Presiden, pernyataan bahwa “Ini adalah momentum yang tepat untuk reformasi antikorupsi” merupakan tamparan keras bagi Presiden SBY khususnya, dan DPR bersama Polri dan kejaksaan pada umumnya. Dari pernyataan Pak Adnan Buyung Nasution (ABN), maka pertanyaan yang menusuk adalah “apa yang SBY perbuat selama 5 tahun beliau memerintah dengan slogan “antikorupsi”?
Pernyataan Pak ABN tentu bukan pernyataan asal-asalan. Dilihat dari konteks komunikasinya, Pak ABN begitu emosional. Bisa dipastikan bahwa Pak ABN bisa berbicara begitu setelah melihat, mendengar (lalu diterjemahan…kebetulan Pak Adnan ora’ ngerti basa jowo”) rekaman penyadapan KPK atas pembicaraan Anggodo. Rekaman tersebut telah menunjukkan borok sistem peradilan negeri kita yang bisa diatur dengan uang dan relasi. Rekaman ini  menunjukkan kuatnya mafia penegakan hukum sehingga bisa mengatur jalannya proses hukum.
Seorang Anggodo bisa memengaruhi proses penyidikan hingga penahanan kepada pimpinan KPK. Anggodo bisa begitu akrab dan mengenal (relasi) dengan sejumlah pejabat hukum di Mabes Polri dan Kejagung. Dari lingkaran kejaksaan, yang banyak disebut adalah mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga yang kala itu menjabat Jaksa Agung Muda Pidana Umum, dan jaksa Irwan Nasution. Rekaman itu mengungkapkan Anggodo berulang kali berhubungan langsung dengan Wisnu.
Sementara nama-nama dari pihak kepolisian yang disebut-sebut adalah Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji dan sejumlah nama penyidik, yaitu Benny, Parman, Gupu, dan Dikdik. Anggodo juga berkali-kali berhubungan dengan Kosasih, pengacaranya, dan Bonaran Situmeang, pengacara Anggoro Widjojo, abangnya. Sementara itu, terdapat pula seseorang bernama Ketut dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang ikut dalam proses hukum Anggoro.
Kasus Bibit dan Chandra bukanlah satu-satunya fenomena yang terjadi pada lembaga penegakan hukum kita.  Empat hari yang lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan proses reformasi yang telah berlangsung selama 11 tahun lebih di Indonesia masih belum membuahkan hasil. Hal ini, kata dia, terbukti dari korupsi yang masih terjadi di mana-mana. Selama ini, kata dia, Orde Baru selalu dianggap sebagai biangnya korupsi, sehingga perlu direformasi agar penegakan hukum lebih dapat dijalankan. Namun, harapan itu masih belum terwujud meski proses reformasi telah berlangsung selama 11 tahun lebih.
“Di setiap daerah masih banyak keluhan bahwa korupsi masih berjalan seperti dulu,” katanya, dalam temu wicara dengan tokoh masyarakat lintas profesi di Medan, Jumat (30/10). “Proyek yang seharusnya hanya bernilai Rp350 miliar tetapi bisa `membengkak` menjadi Rp1 triliun,” imbuhnya. (inilah.com)
Tamparan Keras Juga Bagi Demokrat “Antikorupsi” dan PKS “Bersih”
Saya berbahagia dan bangga berperan LSM dan pers. Partai-partai kita itu enggak bekerjakalian (LSM) yang bekerjaParpol secara institusional gagal berperan sehingga digantikan civil society. (Adnan B Nasution)

Partai-partai kita itu tidak bekerja. Hal yang tidak bisa dipungkiri oleh partai manapun, termasuk partai yang selama ini mengklaim memberantas korupsi (Demokrat) dan mengaku bersih “PKS”.Pernyataan Kader Demokrat Ruhut Sitompul agar Bibit dan Chandra harus ditahan, kemudian pernyataan Kader PKS Fahry  Hamzah yang merendahkan KPK telah membuat gerah banyak pemilih yang telah memberi kepercayaan dua partai ini pada pemilu silam. Ketika kasus Bibit dan Chandra muncul, justru dua partai ini yang begitu gencar mendukung aksi polisi menahan Bibit dan Chandra.
Sementara partai-partai lain di DPR hanya diam menunggu, tidak ada usaha menampung aspirasi rakyat. Sehingga muncullah gerakan extra parlementer seperti Gerakan 1.000.000 facebooker dukung Bibit dan Chandra. Maka wajarlah jika Politisi PAN Abdillah Toha menilai bahwa gerakan rakyat terjadi karena DPR “tertidur” dan politisi “mati suri” dalam kasus penahanan pimpinan KPK nonaktif  Bibit Waluyo – M Chandra.
Situasi terkini jelas membuktikan bahwa ketika DPR “tertidur ” dan politisi ’mati suri’, maka “DPR jalanan” bergerak sekaligus menjadi alternatif perjuangan rakyat untuk meneriakkan aspirasinya, antara lain melalui “dunia maya”,” katanya kepada ANTARA di Jakarta, Minggu malam. (kompas)
Sebelum menutup tulisan ini, saya kutip pernyataan Pak Adnan Buyung Nasution yang meminta Presiden SBY membuka “mata”, kok Anggodo bisa dibebaskan oleh bawahannya (Kapolri) pada 4 Nov silam.
“Dengan kasus ini, saya harap akan membuka mata presiden bahwa bidang hukum harus ditangani tidak kurang dari ekonomi.Bangsa ini tidak hanya butuh perutnya, tapi juga rasa keadilan bagi masyarakat,” ujar Adnan Buyung (Detiknews)
Wahai rakyat Indonesia, apakah Anda sudah mendapat ‘tamparan’ dari dari Pak Adnan Buyung Nasution? Sudahkan Anda mendapat siraman ‘realitas’ dari Pak Prof Mahmud MD?
Aku Sampaikan ‘tamparan’ ini kepada Bapak Presiden Terpilih Soesilo Bambang Yudhoyono “Saya tidak ingin Lanjutkan! Tapi ingin Wujudkan!
Sampaikanlah ‘tamparan’ ini kepada para wakil rakyat yang duduk di kursi singgasana, kepada para menteri yang duduk di kursi bergensi, kepada para pejabat hukum yang ksatria adhyaksa, kepada seluruh masyarakat yang ikut agar tidak tidur dibuai janji!


ech-wan, 4 November 2009

Catatan Fakta: Walaupun demikian, kita harus proportional terhadap Ketua Dewan Pertimbangan Presiden ABN, karena beliau adalah mantan kuasa hukum Syamsul Nursalim (Okezone)
0 Responses

SILAHKAN PROTES...