Dari Tradisi Sampai Penculikan


Fenomena Tentara Anak (3)

Dari Tradisi Sampai Penculikan

Minggu, 10 Januari 2010 - 10:36 wib
textTEXT SIZE :
   

Share

Tak semua anak-anak di seluruh dunia ini bisa menikmati masa kanakkanaknya. Di beberapa belahan, mereka justru dieksploitasi, tak hanya fisik, mereka bahkan harus merelakan nyawa mereka sebagai tentara.

Bocah berusia sembilan tahun itu tampak kikuk saat duduk di belakang meja yang penuh mikrofon dan kilatan kamera dari segala sisi di sebuah ruang konferensi hotel yang padat. Di atas meja tempat Akram –bocah itu– duduk tergantung sebuah poster besar yang memperlihatkan seorang bocah laki-laki Yaman dengan pakaian tradisional warna cokelat, memegang sebuah detonator di salah satu tangannya, sementara tangan lainnya mengangkat bajunya yang memperlihatkan adanya paket bom yang diikatkan di kakinya. Di bawahnya tertulis, ”Katakan tidak pada eksploitasi anak untuk operasi penghancuran dan terorisme.”

Akram baru saja tertangkap. Pemerintah menyatakan, bocah berusia sembilan tahun itu ditangkap karena diduga akan menjadi seorang pelaku bom bunuh diri. Di tubuhnya, ditemukan sebuah bom saat dia berada di Kota Tua Saada, kawasan utara Yaman yang menjadi markas klan Houthi. Selama lima tahun, klan itu telah memimpin pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah di Ibu Kota Sanaa. Dengan kaki diikat bahan peledak di kedua kakinya dan sebuah detonator di tangannya, foto itu tampaknya memperlihatkan kekejaman peningkatan perang itu, seorang anak dipaksa membawa bom oleh pemberontak yang tidak melakukan apapun untuk mencegah korban dan menghentikan teror.

“Memanfaatkan anak-anak untuk perang itu salah,” ujar Akram buka suara dalam konferensi itu. Eksploitasi Akram sebagai tentara anak di Yaman itu tak terlalu aneh. Budaya anak-anak di bawah 18 tahun membawa senjata di masyarakat pribumi Yaman sudah mendarah daging. Beberapa kelompok pemerhati hak perlindungan anak memperkirakan beberapa ribu anak terlibat dalam perang bersenjata. “Kami punya omongan di sini,” ujar Ahmed al-Gorashi, ketua Seyaj, LSM lokal yang berusaha mencegah penggunaan tentara anak, kepada Al Jazeera.

“Kalau Anda sudah cukup umur membawa jambiya (belati tradisional yang biasa diselipkan di ikat pinggang pria Yaman) maka, Anda sudah cukup umur untuk bertarung bersama suku Anda. Dan, anak-anak membawa jambiya sejak berusia 12 tahun.” Di seluruh kawasan pinggiran Yaman, bahkan sudah umum melihat bocah laki-laki berusia 13 atau 14 tahun membawa Kalashnikov saat mereka menumpang bak belakang pik upbersama suku mereka.

Tidak ada data akurat tentang berapa jumlah anak yang digunakan sebagai tentara di Yaman. Menurut Ketua Dar as-Salaam Organisation to Combat Revenge and Violence –LSM lokal– Abdul- Rahman al-Marwani, setidaknya 500-600 anak tewas atau luka-luka saat terlibat langsung dalam perang antarsuku di Yaman tiap tahunnya.

Masalah tentara anak di Yaman sekarang sudah menjadi perhatian komunitas internasional dan badan hak anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNICEF, yang telah ditugasi untuk melaporkan masalah itu. Yaman adalah sebuah bagian di Konvensi Hak Anak dan diratifikasi pada 2007 kedua protokol opsionalnya yang mensyaratkan agar negara melakukan apa saja yang mereka bisa untuk mencegah anak di bawah 18 tahun terlibat langsung dalam peperangan. Kegagalan mencegah anak ikut serta dalam konflik dianggap sebagai kejahatan perang oleh jaksa di Pengadilan Kriminal Internasional.

Sementara itu, di Pakistan, baru-baru ini pasukan keamanan setempat menyelamatkan puluhan anak-anak yang direkrut paksa Taliban sebagai tentara anak di Provinsi North West Frontier. Beberapa pejabat mengungkapkan, anak-anak itu dilatih untuk menjadi pelaku bom bunuh diri dan memperingatkan masih ada ratusan lainnya yang disandera Taliban. “Mereka sudah dicuci otak dan dilatih sebagai pelaku bom bunuh diri, tapi sembilan yang saya temui tampaknya ingin kembali ke kehidupan normal,” papar Letnan Jenderal Nadeem Ahmed, kepala kelompok pendukung khusus yang bertugas menangani kembalinya pengungsi di Swat Valley dan kawasan sekitarnya.

“Tampaknya ada sekitar 300-400 anak yang diambil paksa atau dilatih Taliban.” Mayor Nasir Ali, juru bicara pasukan di Swat, mengungkapkan sebagian besar anak-anak yang diselamatkan dibawa dari sebuah kamp latihan Taliban saat penggerebekan, beberapa di antaranya menyerahkan diri secara suka rela. “Kesaksian dari anak-anak ini adalah bahwa masih ada banyak kasus seperti ini,” ujarnya, saat dikutip BBC. “Kami meminta dan kembali meminta kepada publik, kepada orang tua, jika mereka tahu kasus seperti ini, mereka harus mengontak kami. Kami janji akan melakukan yang terbaik untuk mengembalikan mereka.”

Seorang menteri di Provinsi North West Frontier, Bashir Ahmad Bilour, mengungkapkan, puluhan anak yang diculik berusia 6-15 tahun. “Mereka disiapkan secara mental. mereka dicuci otak pada sebuah pandangan ekstrem bahwa mereka siap membunuh orang tua mereka yang mereka sebut kafir,” papar Bilour. Kepada Al Jazeera, analis politik dan pertahanan Fakhar Rehman, mengungkapkan ada beberapa laporan ke polisi tentang penculikan tidak hanya di Swat, tapi juga di Waziristan Utara dan Selatan.

“Baru-baru ini, ketika kesepakatan damai terjadi antara militan dan pemerintahan provinsi untuk pemberlakuan hukum Syariah, anak-anak diculik dan digunakan sebagai pelaku bom bunuh diri atau Taliban mengancam orang tua mereka untuk memberikan anak laki-laki untuk direkrut,” papar Rehman. Banyak anak lain yang dilaporkan hilang dari orang tuanya yang mengatakan anak mereka diculik Taliban. “Kami belum melihat usaha pemerintah menyelesaikan masalah ini,” paparnya.

Dari Nepal, lebih dari 200 tentara anak pada Selasa (5/1/2010) sudah mulai meninggalkan kamp hutan mereka sebagai bagian dari kesepakatan damai yang mengakhiri pertumpahan darah empat tahun lalu antara Maoist dan pemerintah. Kelompok itu adalah yang pertama dari hampir 4.000 mantan tentara Maoist, sebagian berusia di bawah 18 tahun saat kesepakatan itu ditandatangani pada 2006, yang meninggalkan kamp hutan di seluruh Nepal bulan depan dan berusaha memulai hidup baru.

Dengan mengenakan kalung bunga, mantan pejuang anak-anak itu meninggalkan kamp, melambaikan tangan pada mantan komandan angkatan bersenjata Maoist Pasang di kamp di sekitar 100 km tenggara Kathmandu. Mantan tentara anak-anak, sebagian besar sudah berusia 20-an sekarang, meninggalkan kamp itu dengan lima bus dan menuju ke desa mereka. Pembebasan tentara anak ini akan membuat Maoist dihapus dari daftar PBB mengenai organisasi yang menggunakan anak-anak dalam konflik.

Kelompok HAM mengungkapkan bekas pemberontak itu merekrut anak-anak itu secara paksa saat terjadi konflik, kadang dengan meminta satu orang dari tiap rumah di kawasan yang mereka kuasai, meski beberapa ada yang bergabung secara suka rela. “Pembebasan anak-anak muda ini mengirimkan pesan simbolik untuk tahun baru,” papar Gillian Mellsop, wakil UNICEF untuk Nepal, kepada AFP. “Bukan hanya karena anak-anak ini bisa mendapatkan hidup mereka, tapi juga menandai dimulainya awal dekade baru untuk Nepal sehingga mereka bisa maju untuk mewujudkan masa depan yang lebih stabil dan damai.”

Sementara, Fatin Abbas dari Harvard University, yang telah menulis berbagai macam makalah tentang Afrika, mengungkapkan, Afrika adalah episenter fenomena tentara anak. UNICEF memperkirakan ada 33.000 anak laki-laki dan perempuan terlibat dalam perang di Kongo. Sementara, selama perang sipil di Sierra Leone dari 1991-2001 antara pemerintah dan Front Persatuan Revolusioner, 80 persen pejuangnya berusia antara 7-14 tahun. “Dalam dua perang sipil yang telah meremukkan Liberia antara 1989 dan 2003, 70 persen tentara pemerintah dan pemberontak adalah anak-anak,” ungkap Abbas, dikutip UPI.

Di Somalia, puluhan anak-anak, paling muda berusia 8 tahun, direkrut dan dilatih gerakan Islam al-Shebab untuk memerangi Pemerintahan Federal Transisional. Sementara sebelum pemberontakan Tamil di Sri Lanka berakhir pada Juli 2009, UNICEF melaporkan lebih dari 6.000 kasus rekrutmen anak oleh pemberontak Pembebasan Macan Tamil Eelam antara 2003-2008.

Macan Tamil mempertahankan brigade bayi dengan anggota paling muda berusia 11 tahun. Riset yang dilakukan di El Salvador, Etiopia dan Uganda memperlihatkan bahwa hampir sepertiga tentara anak yang disurvei adalah anak perempuan.(Koran SI/Koran SI/mbs)
0 Responses

SILAHKAN PROTES...