"Kami Semua Ingin Menjadi Rambo"


Fenomena Tentara Anak (2)

"Kami Semua Ingin Menjadi Rambo"

Minggu, 10 Januari 2010 - 10:13 wib
textTEXT SIZE :   
Share

Mantan tentara anak tinggalkan kamp Dudhauli, Nepal (Foto: Daylife)
“USAI makan pagi, kami berbaris menghadap sang kopral. Sang kopral mengambil senjata dari dalam peti kayu dan memberikannya padaku. Sejenak aku ragu, tapi dia mendorongkan senjata itu ke dadaku.

Dengan tangan gemetar, aku menerima senjata itu, memberi hormat kepadanya, dan berlari ke belakang barisan, masih menggenggam senjata itu tapi takut melihatnya. Kami dibawa ke sebuah kebun pisang, tempat belajar menusuk pohon pisang dengan bayonet. Kami diminta membayangkan pohon-pohon itu sebagai musuh yang kejam: para pemberontak yang telah membunuh orang tua kami dan yang bertanggung jawab atas semua yang telah menimpa kami.”

Demikian salah satu kutipan dalam memoir yang ditulis Ismael Beah, mantan tentara anak, dalam “A Long Way Gone”. Beah menceritakan ketika usianya 12 tahun saat ia direkrut menjadi tentara anak-anak propemerintah di Sierra Leone. Beah dilatih menjadi tentara anak yang melawan para pemberontak. Untuk memicu keberaniannya, Beah dan kawan-kawannya disediakan berbagai jenis narkoba seperti amfetamin, mariyuana, dan campuran kokain dengan bubuk mesiu yang dikenal dengan nama brown-brown membuatnya menjadi pembantai yang kejam.

Selain dipengaruhi dengan doktrin dan narkoba, para tentara anak pun diajak berimajinasi dengan menonton film perang dan kepahlawanan, seperti film Rambo: First Blood, Rambo II, dan Commando. “Kami semua ingin menjadi Rambo; kami tak sabar mempraktikkan teknik-tekniknya,” demikian tulis Beah. Itu semua dijalani selama dua tahun. Meski akhirnya dewi fortuna berpihak padanya karena dia pindah ke Amerika Serikat dan menamatkan sekolah. Hingga dia meraih gelar sarjana muda bidang ilmu politik. Bukan hanya Beah semata yang pernah menjadi tentara anak.

Ceritanya pun hampir sama, kebanyakan mereka diculik dan dipaksa menjadi kepanjangan tangan para pemerintah atau pemberontak. “Kami dalam perjalanan pulang dari sekolah ketika bertemu dengan para pemberontak. Mereka memaksa kami membawa barang mereka dan memerintahkan kami ikut mereka,” ungkap Jean Vierre, nama samaran seorang anak yang berusia 16 tahun yang terjebak dalam pertempuran di wilayah timur Republik Demokratik Kongo, seperti dikutip dari BBC. Namun, dia bersama kawannya berhasil melarikan diri setelah dua hari diculik, dan mereka sempat melihat sesama anak-anak dalam situasi yang sama.

Sulit bagi mantan tentara anak bisa melupakan pengalaman hidupnya di tangan kaum pemberontak.“Saya waktu itu tahu benar, saya akan mati karena tertembak atau penyakit karena tidak ada obat atau perawatan yang tersedia. Saya tidak suka itu. Tetapi tidak ada jalan keluar bagi saya saat itu. Saya hanya menunggu hari kematian saja sehingga semuanya bisa berakhir,” papar John, salah satu mantan tentara anak di Kongo. Memang, tentara anak diidentikkan dengan bocah lelaki Afrika yang memegang senjata. Tapi, tentara anak sebenarnya bukan hanya di Afrika.

Salah satunya adalah Sri Lanka. Adalah Vinojan, salah satu anak yang harus menelan pil pahit pengalaman menjadi tentara anak. Dia terpaksa bergabung dengan kelompok pemberontak Macan Tamil untuk menyelamatkan kakaknya dari wajib militer pemberontak. Vinojan terpaksa bergabung dengan pejuang pemberontak Macan Tamil pada 2007 untuk menggantikan kakaknya yang baru berusia 18 tahun. Keluarganya sempat menghindari panggilan Macan Tamil tersebut dengan bersembunyi di hutan. Namun, Vinoja tak bisa melepaskan diri dari wajib militer ala Macan Tamil.

“Kami semua ketakutan dan selalu ingin mundur. Saya tidak pernah mengarahkan tembakan ke siapa pun, saya selalu menembak secara acak,” tutur Vinojan. Bagi para tentara anak yang ingin melarikan diri akan selalu ditakut-takuti. “Salah satu teman saya ditutup matanya, diperintahkan berlutut, dan ditembak di hadapan kami,” tutur Vinojan. Setelah Macan Tamil bertekuk lutut kepada pasukan pemerintah, Vinoja hanya ingin menjadi orang biasa saja. Kini, Vinoja dan para mantan tentara anak bisa mengecap pendidikan, meskipun terlambat.

“Anak-anak itu memiliki niat yang keras untuk belajar. Mereka tidak ingin berbicara mengenai masa lalunya yang kelam. Mereka ingin melupakannya. Kami pun berusaha untuk memotivasi anak-anak yang sebelumnya kurang beruntung itu,” kata salah satu guru di Sri Lanka yang mendidik para mantan tentara anak, seperti dikutip dari BBC.
(Koran SI/Koran SI/mbs)
0 Responses

SILAHKAN PROTES...