Kamis, 24 Februari 2000
Gus Dur, Indonesia, Dunia
Oleh Yasmi Adriansyah
JIKA ada international polling mengenai siapakah presiden terlucu di
dunia, peringkat atas bisa jadi dipegang Presiden RI, Gus Dur.
Buktinya, pada setiap momen pertemuan Gus Dur dengan sejumlah pemimpin
dunia, kerapkali media massa menampilkan adegan mereka tengah tertawa.
Atmosfir yang menyelimuti perhelatan-perhelatan penting tersebut
tampak begitu cair.
Dalam dunia diplomasi, cairnya suasana negosiasi antarbangsa mempunyai
peranan signifikan. Kecairan suasana dapat memudahkan transaksi
kepentingan atau bahkan mempermulus pertarungan strategis. Di kalangan
diplomatik sendiri ada terminologi representative fund, yaitu sejumlah
dana yang diperuntukkan melakukan lobi. Lobi dilaksanakan melalui
aktivitas semisal ramah-tamah maupun entertainment. Tentu saja
aktivitas melobi tersebut ditujukan bagi pencairan suasana terlebih
dahulu dan kemudian baru mengarah kepada tujuan utama: kepentingan
nasional.
Dalam konteks memperjuangkan kepentingan nasional di luar negeri,
Presiden Gus Dur layak mendapat pujian. Di balik berbagai kelemahan
fisiknya dan bahkan ketidakjelasan penglihatan, Gus Dur justru tampil
luar biasa. Selama masa awal pemerintahannya saja, ia sudah
berkeliling ke negara-negara ASEAN. Kemudian, negara-negara digdaya
seperti Amerika Serikat, Jepang, dan RRC, didatangi Gus Dur dalam
tempo singkat dan 'berkecepatan tinggi'. Belum lagi sejumlah negara di
kawasan Timur Tengah dan Asia. Terakhir, Gus Dur bahkan melakukan 'Tur
10 negara Eropa-Asia' hanya dalam durasi 17 hari saja!
***
SEJAK menjabat Presiden RI Oktober 1999, Gus Dur telah melakukan
'revolusi besar' terhadap bangunan politik luar negeri dan diplomasi
Indonesia. Gus Dur memberikan fokus perhatian tinggi pada dinamika
internasional. Ini terbukti dengan tingginya frekuensi lawatan sang
presiden ke luar negeri.
Lawatan Gus Dur tidaklah semata-mata 'proyek anjangsana'. Terdapat
sinyal substansial dan strategis bagi peningkatan citra Indonesia di
mata dunia dan juga pemulihan ekonomi nasional. Pertemuan-pertemuan
Gus Dur dengan sejumlah kepala negara menunjukkan bahwa Gus Dur
mempunyai level akseptabilitas tinggi.
Efektifkah politik luar negeri dan diplomasi yang telah dilaksanakan
Gus Dur tersebut? Dalam konteks memperbaharui profil Indonesia,
tampaknya kita tidak perlu ragu memberikan jawaban positif. Pada
konteks mempromosikan diri sebagai Kepala Negara RI-setelah terpilih
secara demokratis - maka Gus Dur bisa dikatakan mempunyai bargaining
position yang sangat baik.
Di samping itu Gus Dur pun, secara sadar atau tidak, telah merombak
format hubungan luar negeri Indonesia. Jika dahulu-terutama di era
Orde Baru - Indonesia sangat mengedepankan pola hubungan multilateral,
maka kini aspek bilateral menjadi lebih dominan. Tentu saja hal ini
sangat bermanfaat jika Indonesia membutuhkan dukungan dari
negara-negara tertentu, terutama dalam rangka memperjuangkan
kepentingan nasional di fora internasional.
Selama masa tiga bulan pertama, kepemimpinan Gus Dur sudah menebar
signifikasi corak diplomasi. Secara bilateral, dukungan dari kepala
negara lain terhadap pemerintahan Gus Dur telah meningkatkan postur
pribadinya sebagai kepala negara. Konsekuensinya citra Indonesia
merambat naik. Tentu saja fenomena tersebut memberikan imbas positif
terhadap dinamika kerja sama ekonomi, paling tidak dalam hal komitmen
pengaliran investasi.
Pada konteks politik internasional, diplomasi Gus Dur ke negara-negara
berpengaruh seperti ke AS dan RRC turut membantu posisi Indonesia
menahan gempuran komunitas internasional. Padahal Indonesia tengah
dihadang ancaman serius international tribunal, terutama menyangkut
pelanggaran HAM pascajajak pendapat Timor Timur. Dukungan bilateral
dari RRC - dengan hak vetonya - akan sangat membantu bargaining
position Indonesia dalam melawan CIET (Commission of Inquiry on East
Timor) yang begitu bersemangat membawa Indonesia ke pengadilan
internasional. Sekjen PBB Kofi Annan pun memberikan sinyal positif
bahwa Indonesia, untuk sementara, tidak akan 'digugat'.
Gus Dur juga tidak semata-mata tunduk pada kekuatan negara lain.
Australia, misalnya, yang pada masa pascajajak pendapat Timtim
mendapat 'kehormatan' memimpin pasukan internasional dalam operasi
perdamaian namun sekaligus menginjak-injak harga diri bangsa
Indonesia, 'ditelantarkan' begitu saja oleh sang Presiden. Padahal,
sebagai negara tetangga, sangat wajar kalau Australia bertanya-tanya,
mengapa Gus Dur tidak kunjung menyapa Australia. Dan ternyata Gus Dur
(baca: Indonesia) telah me nang satu poin atas Australia, yaitu dengan
datangnya Menlu Alexander Downer ke Jakarta pada akhir Januari untuk
memfasilitasi pertemuan kedua kepala negara. Jadi jelas, Australia pun
'memerlukan' Gus Dur.
***
ADA dua hal yang mungkin menjadi kekuatan karakter Gus Dur. Pertama,
kemampuannya 'melihat' yang tidak dilihat kebanyakan orang. Kedua,
tingginya kepercayaan diri. Namun, kedua kekuatan ini ketika tidak
dikelola dengan baik justru potensial menciptakan konflik. Kemampuan
'melihat' Gus Dur kerap membuat kebijakannya terasa aneh. Hal ini
diperparah oleh rasa kepercayaan dirinya yang mungkin, mohon maaf,
berlebihan (over-confident). Akibatnya, Gus Dur tidak bisa terlepas
dari penilaian sebagai figur pemimpin one man show, over-improvisasi,
konsisten dengan inkonsistensinya, dan bahkan cenderung 'otoriter'.
Kelebihan sekaligus kelemahan Gus Dur tersebut, uniknya, lebih banyak
terjadi dalam skala domestik. Artinya, pada konteks politik luar
negeri dan diplomasi, Gus Dur telah menampilkan postur luar biasa.
Kepiawaiannya sangat dikenal dan bahkan layak dicantumkan dalam
notulasi sejarah. Namun secara domestik posisi Gus Dur justru cukup
rentan (fragile). Kerentanan ini bukanlah disebabkan oleh lemahnya
sistem demokrasi Indonesia (yang baru saja mulai dibangun). Bukan pula
oleh tekanan internasional, yang pada masa rezim Soeharto dan Habibie
sangat terasa denyutnya. Semuanya lebih dikarenakan karakter pribadi
Gus Dur. Terlepas dari positif tidaknya karakter Gus Dur, yang pasti
saat ini di level elite politik dan bahkan pada tataran akar rumput
Indonesia seakan penuh sekam oleh manuver sang presiden.
Gonjang-ganjing perombakan kabinet, kebijakan penuh improvisasi, dan
perenggangan hubungan (pemerintah) sipil-militer adalah sejumlah
contoh hasil manuver politik Gus Dur yang membuat 'panas' hawa dalam
negeri. Sebenarnya sudah cukup banyak pihak, terutama dari kalangan
cendekiawan, memperingatkan Gus Dur. Namun seperti biasa tanggapan Gus
Dur adalah, "Gitu aja kok repot."
Menurut penulis, ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan. Pertama,
ada baiknya jika Gus Dur mulai membatasi diri dalam memberikan
pernyataan dan mengeluarkan kebijakan improvisatifnya. Gus Dur harus
sudah mulai membiasakan kultur manajemen modern. Biarkanlah
menteri-menterinya yang bergerak dalam level teknis. Sedangkan Gus Dur
adalah pengambil kebijakan makro. Dan yang paling penting adalah
penunjukan juru bicara (spokesperson) Pemerintah. Hal ini untuk
mengurangi distorsi dari pola sikap dan ucap sang presiden.
Kedua, Gus Dur sebaiknya mulai berfokus pada penataan sistem
pemerintahan. Harus ada pemberdayaan berbagai komponen pemerintah
sekaligus sistematisasi koordinasi. Semua hal tersebut hendaknya
dijalankan dalam koridor hukum, bukannya manuver personal. Kelemahan
Indonesia selama ini adalah negara kerapkali dijalankan secara
individual. Bobrok individunya, bobrok pula negara.
Ketiga, politik luar negeri dan diplomasi ala Gus Dur secara umum
dapat dinilai positif. Namun Gus Dur harus tetap menjaga energinya,
terutama dalam hal pelontaran kata-kata. Menurut berbagai 'bisikan',
sejumlah negara mulai tidak menyukai gaya ceplas-ceplos Gus Dur. Dan
hal ini tentu akan tidak menguntungkan aura diplomasi Indonesia.
"Please be careful, Mr President!"
( * Yasmi Adriansyah, peneliti pada Center for Indonesian Diplomatic
Studies, dan lulusan pascasarjana UI.)
Gus Dur, Indonesia, Dunia
Oleh Yasmi Adriansyah
JIKA ada international polling mengenai siapakah presiden terlucu di
dunia, peringkat atas bisa jadi dipegang Presiden RI, Gus Dur.
Buktinya, pada setiap momen pertemuan Gus Dur dengan sejumlah pemimpin
dunia, kerapkali media massa menampilkan adegan mereka tengah tertawa.
Atmosfir yang menyelimuti perhelatan-perhelatan penting tersebut
tampak begitu cair.
Dalam dunia diplomasi, cairnya suasana negosiasi antarbangsa mempunyai
peranan signifikan. Kecairan suasana dapat memudahkan transaksi
kepentingan atau bahkan mempermulus pertarungan strategis. Di kalangan
diplomatik sendiri ada terminologi representative fund, yaitu sejumlah
dana yang diperuntukkan melakukan lobi. Lobi dilaksanakan melalui
aktivitas semisal ramah-tamah maupun entertainment. Tentu saja
aktivitas melobi tersebut ditujukan bagi pencairan suasana terlebih
dahulu dan kemudian baru mengarah kepada tujuan utama: kepentingan
nasional.
Dalam konteks memperjuangkan kepentingan nasional di luar negeri,
Presiden Gus Dur layak mendapat pujian. Di balik berbagai kelemahan
fisiknya dan bahkan ketidakjelasan penglihatan, Gus Dur justru tampil
luar biasa. Selama masa awal pemerintahannya saja, ia sudah
berkeliling ke negara-negara ASEAN. Kemudian, negara-negara digdaya
seperti Amerika Serikat, Jepang, dan RRC, didatangi Gus Dur dalam
tempo singkat dan 'berkecepatan tinggi'. Belum lagi sejumlah negara di
kawasan Timur Tengah dan Asia. Terakhir, Gus Dur bahkan melakukan 'Tur
10 negara Eropa-Asia' hanya dalam durasi 17 hari saja!
***
SEJAK menjabat Presiden RI Oktober 1999, Gus Dur telah melakukan
'revolusi besar' terhadap bangunan politik luar negeri dan diplomasi
Indonesia. Gus Dur memberikan fokus perhatian tinggi pada dinamika
internasional. Ini terbukti dengan tingginya frekuensi lawatan sang
presiden ke luar negeri.
Lawatan Gus Dur tidaklah semata-mata 'proyek anjangsana'. Terdapat
sinyal substansial dan strategis bagi peningkatan citra Indonesia di
mata dunia dan juga pemulihan ekonomi nasional. Pertemuan-pertemuan
Gus Dur dengan sejumlah kepala negara menunjukkan bahwa Gus Dur
mempunyai level akseptabilitas tinggi.
Efektifkah politik luar negeri dan diplomasi yang telah dilaksanakan
Gus Dur tersebut? Dalam konteks memperbaharui profil Indonesia,
tampaknya kita tidak perlu ragu memberikan jawaban positif. Pada
konteks mempromosikan diri sebagai Kepala Negara RI-setelah terpilih
secara demokratis - maka Gus Dur bisa dikatakan mempunyai bargaining
position yang sangat baik.
Di samping itu Gus Dur pun, secara sadar atau tidak, telah merombak
format hubungan luar negeri Indonesia. Jika dahulu-terutama di era
Orde Baru - Indonesia sangat mengedepankan pola hubungan multilateral,
maka kini aspek bilateral menjadi lebih dominan. Tentu saja hal ini
sangat bermanfaat jika Indonesia membutuhkan dukungan dari
negara-negara tertentu, terutama dalam rangka memperjuangkan
kepentingan nasional di fora internasional.
Selama masa tiga bulan pertama, kepemimpinan Gus Dur sudah menebar
signifikasi corak diplomasi. Secara bilateral, dukungan dari kepala
negara lain terhadap pemerintahan Gus Dur telah meningkatkan postur
pribadinya sebagai kepala negara. Konsekuensinya citra Indonesia
merambat naik. Tentu saja fenomena tersebut memberikan imbas positif
terhadap dinamika kerja sama ekonomi, paling tidak dalam hal komitmen
pengaliran investasi.
Pada konteks politik internasional, diplomasi Gus Dur ke negara-negara
berpengaruh seperti ke AS dan RRC turut membantu posisi Indonesia
menahan gempuran komunitas internasional. Padahal Indonesia tengah
dihadang ancaman serius international tribunal, terutama menyangkut
pelanggaran HAM pascajajak pendapat Timor Timur. Dukungan bilateral
dari RRC - dengan hak vetonya - akan sangat membantu bargaining
position Indonesia dalam melawan CIET (Commission of Inquiry on East
Timor) yang begitu bersemangat membawa Indonesia ke pengadilan
internasional. Sekjen PBB Kofi Annan pun memberikan sinyal positif
bahwa Indonesia, untuk sementara, tidak akan 'digugat'.
Gus Dur juga tidak semata-mata tunduk pada kekuatan negara lain.
Australia, misalnya, yang pada masa pascajajak pendapat Timtim
mendapat 'kehormatan' memimpin pasukan internasional dalam operasi
perdamaian namun sekaligus menginjak-injak harga diri bangsa
Indonesia, 'ditelantarkan' begitu saja oleh sang Presiden. Padahal,
sebagai negara tetangga, sangat wajar kalau Australia bertanya-tanya,
mengapa Gus Dur tidak kunjung menyapa Australia. Dan ternyata Gus Dur
(baca: Indonesia) telah me nang satu poin atas Australia, yaitu dengan
datangnya Menlu Alexander Downer ke Jakarta pada akhir Januari untuk
memfasilitasi pertemuan kedua kepala negara. Jadi jelas, Australia pun
'memerlukan' Gus Dur.
***
ADA dua hal yang mungkin menjadi kekuatan karakter Gus Dur. Pertama,
kemampuannya 'melihat' yang tidak dilihat kebanyakan orang. Kedua,
tingginya kepercayaan diri. Namun, kedua kekuatan ini ketika tidak
dikelola dengan baik justru potensial menciptakan konflik. Kemampuan
'melihat' Gus Dur kerap membuat kebijakannya terasa aneh. Hal ini
diperparah oleh rasa kepercayaan dirinya yang mungkin, mohon maaf,
berlebihan (over-confident). Akibatnya, Gus Dur tidak bisa terlepas
dari penilaian sebagai figur pemimpin one man show, over-improvisasi,
konsisten dengan inkonsistensinya, dan bahkan cenderung 'otoriter'.
Kelebihan sekaligus kelemahan Gus Dur tersebut, uniknya, lebih banyak
terjadi dalam skala domestik. Artinya, pada konteks politik luar
negeri dan diplomasi, Gus Dur telah menampilkan postur luar biasa.
Kepiawaiannya sangat dikenal dan bahkan layak dicantumkan dalam
notulasi sejarah. Namun secara domestik posisi Gus Dur justru cukup
rentan (fragile). Kerentanan ini bukanlah disebabkan oleh lemahnya
sistem demokrasi Indonesia (yang baru saja mulai dibangun). Bukan pula
oleh tekanan internasional, yang pada masa rezim Soeharto dan Habibie
sangat terasa denyutnya. Semuanya lebih dikarenakan karakter pribadi
Gus Dur. Terlepas dari positif tidaknya karakter Gus Dur, yang pasti
saat ini di level elite politik dan bahkan pada tataran akar rumput
Indonesia seakan penuh sekam oleh manuver sang presiden.
Gonjang-ganjing perombakan kabinet, kebijakan penuh improvisasi, dan
perenggangan hubungan (pemerintah) sipil-militer adalah sejumlah
contoh hasil manuver politik Gus Dur yang membuat 'panas' hawa dalam
negeri. Sebenarnya sudah cukup banyak pihak, terutama dari kalangan
cendekiawan, memperingatkan Gus Dur. Namun seperti biasa tanggapan Gus
Dur adalah, "Gitu aja kok repot."
Menurut penulis, ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan. Pertama,
ada baiknya jika Gus Dur mulai membatasi diri dalam memberikan
pernyataan dan mengeluarkan kebijakan improvisatifnya. Gus Dur harus
sudah mulai membiasakan kultur manajemen modern. Biarkanlah
menteri-menterinya yang bergerak dalam level teknis. Sedangkan Gus Dur
adalah pengambil kebijakan makro. Dan yang paling penting adalah
penunjukan juru bicara (spokesperson) Pemerintah. Hal ini untuk
mengurangi distorsi dari pola sikap dan ucap sang presiden.
Kedua, Gus Dur sebaiknya mulai berfokus pada penataan sistem
pemerintahan. Harus ada pemberdayaan berbagai komponen pemerintah
sekaligus sistematisasi koordinasi. Semua hal tersebut hendaknya
dijalankan dalam koridor hukum, bukannya manuver personal. Kelemahan
Indonesia selama ini adalah negara kerapkali dijalankan secara
individual. Bobrok individunya, bobrok pula negara.
Ketiga, politik luar negeri dan diplomasi ala Gus Dur secara umum
dapat dinilai positif. Namun Gus Dur harus tetap menjaga energinya,
terutama dalam hal pelontaran kata-kata. Menurut berbagai 'bisikan',
sejumlah negara mulai tidak menyukai gaya ceplas-ceplos Gus Dur. Dan
hal ini tentu akan tidak menguntungkan aura diplomasi Indonesia.
"Please be careful, Mr President!"
( * Yasmi Adriansyah, peneliti pada Center for Indonesian Diplomatic
Studies, dan lulusan pascasarjana UI.)
SILAHKAN PROTES...