Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: ekspos@excite.com Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 17/III/22-28 Mei 2000 ================================================ MENOLAK DIPLOMASI SENJATA (PERISTIWA): Pemerintah dan GAM telah menandatangani kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan di Aceh. Tapi masih ada pihak yang tak ingin Aceh aman. Siapa mereka? Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami. Berilah Rahmat dan Hidayah Mu kepada kami dan jadikanlah Aceh bumi yang damai selalu, demikian sepotong doa dari sekitar 200 siswa SD, SMP, dan SMU Muhammadiyah Lhokseumawe, Jumat (12/5). Sebelum berdoa, anak-anak sekolah itu membaca Al Quran Surat Yasin, juga melakukan zikir, tahlil, dan tahmid. Hari itu, memang menjadi hari istimewa bagi masyarakat Aceh. Mereka berharap para pimpinan politik mau mengakhiri sengketa di bumi rencong itu dengan melalui perundingan damai. Dan hari itu, di Jenewa, Swiss, memang sedang terjadi sebuah peristiwa besar. Yaitu dua wakil dari pemerintah Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani kesepakatan "genjatan senjata", yang dikenal dengan istilah "Jeda untuk Kemanusiaan untuk Aceh". Masyarakat Aceh sudah lama berharap, pertikaian bersenjata harus segera diakhiri dan harapan itu dipenuhi oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid. Tanpa mengakibatkan adanya saling pengakuan di antara dua pihak. "Tidak ada masalah tentang pengakuan kepada siapapun juga oleh siapapun juga," kata presiden yang didampingi Sekretaris Presiden Djoko Muljono dalam jumpa pers mendadak di Istana Merdeka, Jumat pagi. Kesepahaman Bersama Jeda Kemanusiaan untuk Aceh (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh) ditandatangani Jumat (12/5) pukul 11.40 waktu Davos, Swiss, masing-masing oleh Dubes RI untuk Swiss Dr. Hasan Wirayudha dan Dr Zaini Abdullah, mewakili GAM. Henry Dunand Centre-lah yang memprakarsasi pertemuan itu. Langkah pemerintahan Gus Dur ini mendapat suara sengau dari DPR. Sejumlah pimpinan fraksi, terutama Akbar Tanjung mendesak pemerintah untuk menjelaskan mengapa harus ada pertemuan itu, dan dilaksanakan di luar negeri lagi. Karena menurut orang DPR itu, Aceh merupakan persoalan dalam negeri dan pertemuan itu akhirnya justru mengakui keberadaan GAM dan juga menganggap penting GAM. Gus Dur sempat bergeming dengan suara-suara dari DPR itu. Acara penandatanganan MoU itu rencana akan disaksikan Menlu Alwi Sihab. Tapi karena ditentang sejumlah pimpinan DPR, akhirnya Gus Dur membatalkan keberangkatan Alwi. Walaupun sebenarnya Gus Dur mengakui, "penandatanganan itu merupakan hak prerogatif eksekutif". "Nanti eksekutif akan mempertanggungjawabkan kepada MPR," kata Gus Dur seusai shalat Jumat di Ciganjur, Jakarta Selatan. Karena Gus Dur masih tetap berharap penyelesaian masalah Aceh akan dilaksanakan di dalam negeri dan diharapkan puncaknya akan berlangsung pada Kongres Rakyat Aceh. "Kesepahaman ini merupakan langkah awal dari suatu perjalanan seratus langkah dalam upaya mencapai penyelesaian akhir masalah Aceh," kata Dubes RI/Watapri di PBB Jenewa, DR N Hassan Wirajuda. Mantan Dubes RI di Kairo itu menyatakan pula, kesepahaman tercapai setelah berlangsungnya tiga langkah putaran dialog yang difasilitasi oleh Pusat Dialog Kemanusiaan Henry Dunant (Henry Dunant Center for Humanitarian Dialogue). Menurut Hassan, proses penandatanganan Kesepakatan Bersama di luar negeri itu semata-mata alasan teknis. Lantaran pihak GAM pimpinan Hasan Tiro belum bersedia hadir ke Indonesia. Sementara Pemerintah Indonesia melalui Dubes/Watapri di Jenewa mengambil langkah aktif untuk membuka pembicaraan dengan pihak GAM di Eropa. Selama ini, GAM di Eropa pimpinan Hasan Tiro menetap di Stockholm, Swedia. Pihak RI dan GAM sebelumnya telah mengadakan tiga kali pertemuan informal sebelum akhirnya sepakat untuk menandatangani Kesepakatan Bersama menuju perdamaian Aceh. Kesepahaman Bersama tersebut terdiri dari enam pasal yang memuat tujuan, komponen, struktur organisasi, jangka waktu, masa transisi dan sosialisasi program jeda kemanusiaan. Kedua pihak sepakat kesepahaman itu mulai berlaku pada tanggal 2 Juni 2000, yaitu tiga minggu sejak ditandatangani. Tahap pertama pelaksanaannya akan berlangsung selama tiga bulan dan secara berkala akan dikaji untuk perpanjangannya. Selain itu, kedua pihak sepakat perlunya dibentuk dua Komite Bersama, yakni Komite Bersama Aksi Kemanusiaan (JCHA/Joint Committee on Humanitarian Action), dan Komite Bersama Modalitas Keamanan (JCSM/Joint Committee for Security Modalities). MoU itu memang langkah awal. Karena pemerintahan Gus akan melanjutkan dengan langkah-langkah lanjutan. Yaitu selain meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh, pemerintah juga memperhatikan para pemimpin GAM dan menampung laskar GAM lewat seleksi fisik untuk masuk TNI atau Polri. Dan penyelesaian dengan cara ini pernah ditempuh Soekarno pada saat menghadapi Daud Beureuh. "Jadi kalau ada kekhawatiran masyarakat tentang perjanjian ini karena mereka tidak mengetahui persoalan," kata Gus Dur. Secara resmi langkah Gus Dur ini mendapat dukungan penuh dari TNI. TNI secara resmi sudah mulai mengurangi jumlah pasukannya di Aceh. Sebanyak 850 prajurit TNI dari Pasukan Rajawali yang selama ini di-BKO di Korem 011/Lilawangsa, Jumat (5/5) pagi, telah meninggalkan Aceh melalui Pelabuhan Umum Krueng Geukueh. Pasukan ini kembali ke kesatuan masing-masing dan digantikan 620 prajurit Yon 327/Kujang, Jawa Barat, yang telah bertugas di Aceh beberapa hari sebelumnya. Begitu pula GAM. Tgk Abdullah Syafiie, panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM), menyatakan telah memerintahkan pasukannya kembali ke barak dan "menggudangkan" senjata menyambut pertemuan pemerintah RI dan GAM di Jenewa, Swiss, 12 Mei mendatang. "Kini pasukan telah berada di barak. Semua pasukan taat dan patuh kepada panglima perang (Abdullah Syafiie, red.)," kata jurubicara Komando Pusat Ditiro, Tgk Maad Muda, kepada Serambi. Hanya saja, banyak tentara sisa-sisa pendukung Orde Baru yang masih menginginkan Aceh terus bergolak dan menolak cara-cara dialog untuk menyelesaikan perkara Aceh. Di sejumlah tempat di Aceh, eksalasi kekerasan justru meningkat. Pembunuhan, penganiayaan, pembakaran rumah, perusakan kantor dan sebagainya hampir setiap hari terjadi. (Baca: Tensi Kekerasan Terus Meninggi) "Kelompok yang membuat kekacauan ini adalah kelompok-kelompok yang digerakkan dari Jakarta," kata Kepala Negara dalam jumpa pers rutin dengan wartawan dalam dan luar negeri di Bina Graha, beberapa waktu lalu. Menurut Gus Dur, tak mudah untuk mencari kelompok pembuat kekacauan itu. Sebab mereka itu pintar-pintar, umumnya bekas militer. Bahkan ia dapat laporan ada oknum TNI yang masih aktif ikut memprovokasi masalah Aceh. Ada yang menduga, kelompok yang mengacau di Aceh adalah gengnya Wiranto-Djaja Suparman. Kedua jenderal ini tersingkir dan sakit hati dengan pemerintahan Gus Dur. Bahkan disinyalir, Djaja punya kepentingan bisnis di Aceh, yaitu bisnis ganja untuk membiayai gerakannya. Nah benarkah informasi itu? Djaja sendiri belum pernah mengakui hal ini. (*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
SILAHKAN PROTES...